Dia datang lagi. Seseorang dari masa
lalu yang sempat terlewatkan dalam kehidupanku. Mungkin bisa di sebut cinta
pertama atau bisa juga cinta monyet. Tapi itu sudah lama sekali.
Afkar. Sebuah nama yang pernah tertulis
dihatiku. Lima belas tahun silam saat aku masih duduk di bangku SMP. Seorang
laki-laki yang baru pindah dari luar kota tiba-tiba masuk di kelasku dan
menjadi pusat perhatian. Wajahnya yang rupawan dan terlihat lebih sopan
dibandingkan anak laki-laki seusianya di kelas VII.2.
Rumahnya tak jauh dari rumahku, setiap
berangkat dan pulang sekolah tanpa dia sadari aku berjalan di belakangnya.
Ingin rasanya aku berjalan bersebelahan dengannya tapi aku ragu. Aku harus
ngobrol apa saat bersebelahan dengannya?? Tentang pelajaran tadi di sekolah??
Tentang hobinya?? Atau tentang aku?? Hmmm...nggak mungkin.
Sesekali aku nyengir membayangkan apa
yang ingin aku lakukan saat berpapasan dengannya. Bingung campur aduk berharap
dia yang menegurku terlebih dulu.
Tapi hingga 15 tahun berlalu, aku belum
sempat mengenalnya lebih dekat. Aku hanya sempat mengaguminya, cemburu
melihatnya sibuk dengan gadis-gadis yang mendekatinya, marah setiap dengar
kabar dia jadian. Serasa aku paling buruk sedunia hanya karena gagal membuatnya
tahu aku suka dia.
Selang 15 tahun terlewati, aku bertemu
dia lagi. Dia bersepeda ke lapangan tempat anak-anak main sepak bola. Tiba-tiba
dadaku seperti berhenti. “Dia ...,”gumamku keheranan melihat dia yang sudah 15
tahun tak ada kabar karena melanjutkan sekolahnya di Bandung.
Sebenarnya dalam hati aku ingin
memastikan apa benar yang baru saja aku lihat. Tapi, aku masih sibuk beres-beres
rumah. Tak kuhiraukan sekelebat bayangan
masa lalu yang baru saja membuat jantungku berhenti sejenak. “OK, masa lalu
Mila, masa lalu,” aku bergumam lagi.
Selang 3 hari sejak pagi itu, ada
permintaan pertemanan di aplikasi smartphoneku. Tanpa pikir panjang aku terima
saja. Tak lama setelah itu, ada pesan masuk. “Hai, Mila. Apa kabar??”
Aku ingin membalasnya tapi kupastikan
dulu siapa yang punya pin itu. Ku buka profilnya, statusnya “BUSY”. Gambarnya
foto anak kecil. Aku penasaran, mungkin saja dia teman SMA ku yang sudah lama
lost contact. “Alhamdulillah baik, maaf ini siapa ya??”
Beberapa menit kemudian terdengar ada
suara pesan masuk. Tapi aku masih sibuk dengan Nadia yang minta ditemani main
boneka di teras. Satu jam kemudian baru aku baca pesan itu. “ Aku afkar, masih
inget aku kan?”
Deg. Lagi-lagi dadaku serasa dihantam
palu. Sakit dan bingung harus bagaimana. Aku balas sesingkat mungkin.
“Iya,inget kok,”
Dia tidak membalas lagi. Aku pun tak
berharap banyak dari obrolan singkat itu.
Semakin hari semakin sering dia mengirim
pesan untukkku, meski hanya sekedar bertegur sapa. Terkadang aku merasa bingung
karena dia seolah memberiku angin segar di tengah kehidupanku.
Sampai pada suatu hari terjadilah sebuah
percakapan antara aku dan afkar. “Mil, bener nggak sih kamu suka sama aku?”
Pertanyaan afkar membuatku terkejut dan
terdiam beberapa saat. “Maksud kamu apa?”
“Hmmm... iya, aku tanya apa kamu suka
sama aku? Karena aku sebenernya udah lama suka sama kamu. Aku kagum sama kamu,”
“Pertanyaan kamu kayaknya udah gag
pantes deh untuk saat ini,”
“Kenapa?”tanya Afkar heran.
“Kamu tahu kan, seminggu lagi aku
menikah? Udah basi kalau kita ngomongin perasaan yang udah lewat,”ujarku
“Justru karena sebentar lagi kamu
menikah, aku pengin ada kepastian dari kamu. Apa kamu masih ada rasa sama aku,
seperti dulu waktu jaman SMP?” Afkar semakin menddesak.
“Lalu, kalau aku masih punya perasaan
yang seperti itu, apa untungnya buat aku? Sekarang aku sudah memiliki calon
pendamping hidup, Fikri. Dia yang selalu ada dalam suka duka ku, bukan kamu
yang hanya menjadi angan-angan indah dalam mimpiku,”
“Setidaknya aku ingin kamu tahu bahwa
aku selama ini suka sama kamu, dan berharap aku yang jadi pendamping hidupmu.
Bukan yang lain.”
“Terlambat, aku sudah mencintai Fikri
lebih dari rasaku untukmu saat itu. Dan meskipun saat ini aku masih menyimpan
sedikit perasaan untukmu, aku nggak akan pernah berpaling dari Fikri. Aku ingin
menjadi perempuan satu-satunya untuk Fikri, dan ini adalah caraku untuk
mencintainya.”
Tak lama berselang, air mataku menetes
perlahan. Dadaku mulai sesak dengan berbagai kalimat yang ingin aku lontarkan
pada Afkar. Tapi bibirku terasa kaku dan kelu, hanya isak tangis yang memecah
suasana gundah di sore itu. Rasa sesalku bukan karena aku lebih memilih Fikri,
tapi karena Afkar membuka luka itu di saat aku mulai bangkit dari keterpurukan.
Aku sedang berusaha melupakan Afkar dari hidupku tapi justru dia datang dan
mengungkapkan perasaannya. Harusnya dia jelaskan semua jauh sebelum aku
memberikan seluruh cintaku untuk Fikri.
Semua sudah terlambat, aku mencoba untuk
tetap setia pada lelakiku. Aku percaya Tuhan pasti sudah siapkan jalan hidup
yang indah untukku bersama Fikri. Kebahagiaan yang mungkin belum pernah aku
bayangkan sebelumnya.
“Maaf Afkar, aku memang dulu
menyayangimu. Aku selalu berusaha untuk dekat denganmu, mencari perhatianmu
dari berbagai sisi meskipun aku gagal untuk membuatmu paham perasaanku saat
itu. Sesekali aku berpikir kamu pun memperhatikanku tapi seringkali kamu acuh
sama aku. Bahkan aku ikut ekstrakurikuler bulutangkis pun karena aku pengin
punya waktu lebih untuk melihatmu,”
“Maafin aku Mila. Saat itu aku masih
ragu apa yang harus aku lakukan. Aku baru yakin setelah aku membaca
catatan-catatan kecil yang kamu selipkan di meja dulu. Aku masih menyimpannya
Mila,” Afkar membuka sebuah kotak berisi penuh kertas-kertas usang dariku. Dia
sodorkan padaku dan aku seketika menampiknya. “Jangan lagi Afkar, aku udah
cukup sakit mengagumimu lebih dari 10 tahun tanpa balasan apapun,”
“Tapi saat ini aku ingin menebus semua
kesalahanku dulu Mil,”
“Sekarang?? Kamu akan membalas rasa
cinta seorang gadis yang seminggu lagi mau menikah? Kamu mau merusak
kebahagiaanku untuk kedua kalinya?? Cukup Afkar,aku sudah bahagia mencintai
Fikri,”
Aku berlalu. Membiarkannya termangu
dengan sekotak kenangan di masa lalu. Mungkin memang menyakitkan. Tapi ini yang
terbaik. Cintaku bukan kisah telenovela, drama india, ataupun drama korea yang
bisa berakhir dengan cinta pertama. Kisahku akan berlabuh pada cinta terakhir
yang juga cinta sejatiku. Fikri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar