Senin, 05 Maret 2018

Ringga Lingga (part1)



Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku masih gugup dan mengendap-endap masuk ke ruang guru di lantai 2 sekolahku. Sejak sebulan ini aku kerap menyambangi ruangan besar penuh meja dan kursi tertata rapi dengan vas bunga dan tumpukan buku di atas meja. Ya, aku berada di ruang guru, sepagi ini. Jam di dinding dekat jendela masih menunjukkan pukul 06.00 dan ruangan masih sepi.
Aku berjalan perlahan menuju meja paling ujung dan menghela nafas sesekali karena gugup. Kuletakkan setangkai mawar merah di meja itu. Aku semakin gugup dan berlari ke luar ruangan. Meja itu adalah meja pak Lingga, guru Fisika yang baru sebulan ini mengajar di SMA tempat ku belajar.
Lingga Pratama, guru baru yang cukup menyita banyak perhatian siswa dan siswi di SMA SEJAHTERA. Usia muda, wajah tampan, dan multi telented. Selain mampu mengajar dengan gaya yang lebih santai dan mudah dimengerti, pak Lingga juga punya kemampuan bela diri serta bermain alat musik. Sesekali pak Lingga menggunakan cara unik agar murid-murid di kelas tidak mengantuk dan bosan saat belajar Fisika. Misalnya, dengan membuat kuis berantai. Satu anak melempar kata kunci dan siswa lainnya menyambung dengan kata kunci lainnya yang saling berkaitan. Pak Lingga memang unik dan menarik.

Cukup Cinta Monyet



Dia datang lagi. Seseorang dari masa lalu yang sempat terlewatkan dalam kehidupanku. Mungkin bisa di sebut cinta pertama atau bisa juga cinta monyet. Tapi itu sudah lama sekali.
Afkar. Sebuah nama yang pernah tertulis dihatiku. Lima belas tahun silam saat aku masih duduk di bangku SMP. Seorang laki-laki yang baru pindah dari luar kota tiba-tiba masuk di kelasku dan menjadi pusat perhatian. Wajahnya yang rupawan dan terlihat lebih sopan dibandingkan anak laki-laki seusianya di kelas VII.2.
Rumahnya tak jauh dari rumahku, setiap berangkat dan pulang sekolah tanpa dia sadari aku berjalan di belakangnya. Ingin rasanya aku berjalan bersebelahan dengannya tapi aku ragu. Aku harus ngobrol apa saat bersebelahan dengannya?? Tentang pelajaran tadi di sekolah?? Tentang hobinya?? Atau tentang aku?? Hmmm...nggak mungkin.
Sesekali aku nyengir membayangkan apa yang ingin aku lakukan saat berpapasan dengannya. Bingung campur aduk berharap dia yang menegurku terlebih dulu.
Tapi hingga 15 tahun berlalu, aku belum sempat mengenalnya lebih dekat. Aku hanya sempat mengaguminya, cemburu melihatnya sibuk dengan gadis-gadis yang mendekatinya, marah setiap dengar kabar dia jadian. Serasa aku paling buruk sedunia hanya karena gagal membuatnya tahu aku suka dia.
Selang 15 tahun terlewati, aku bertemu dia lagi. Dia bersepeda ke lapangan tempat anak-anak main sepak bola. Tiba-tiba dadaku seperti berhenti. “Dia ...,”gumamku keheranan melihat dia yang sudah 15 tahun tak ada kabar karena melanjutkan sekolahnya di Bandung.
Sebenarnya dalam hati aku ingin memastikan apa benar yang baru saja aku lihat. Tapi, aku masih sibuk beres-beres rumah.  Tak kuhiraukan sekelebat bayangan masa lalu yang baru saja membuat jantungku berhenti sejenak. “OK, masa lalu Mila, masa lalu,” aku bergumam lagi.
Selang 3 hari sejak pagi itu, ada permintaan pertemanan di aplikasi smartphoneku. Tanpa pikir panjang aku terima saja. Tak lama setelah itu, ada pesan masuk. “Hai, Mila. Apa kabar??”
Aku ingin membalasnya tapi kupastikan dulu siapa yang punya pin itu. Ku buka profilnya, statusnya “BUSY”. Gambarnya foto anak kecil. Aku penasaran, mungkin saja dia teman SMA ku yang sudah lama lost contact. “Alhamdulillah baik, maaf ini siapa ya??”
Beberapa menit kemudian terdengar ada suara pesan masuk. Tapi aku masih sibuk dengan Nadia yang minta ditemani main boneka di teras. Satu jam kemudian baru aku baca pesan itu. “ Aku afkar, masih inget aku kan?”
Deg. Lagi-lagi dadaku serasa dihantam palu. Sakit dan bingung harus bagaimana. Aku balas sesingkat mungkin. “Iya,inget kok,”
Dia tidak membalas lagi. Aku pun tak berharap banyak dari obrolan singkat itu.
Semakin hari semakin sering dia mengirim pesan untukkku, meski hanya sekedar bertegur sapa. Terkadang aku merasa bingung karena dia seolah memberiku angin segar di tengah kehidupanku.
Sampai pada suatu hari terjadilah sebuah percakapan antara aku dan afkar. “Mil, bener nggak sih kamu suka sama aku?”
Pertanyaan afkar membuatku terkejut dan terdiam beberapa saat. “Maksud kamu apa?”
“Hmmm... iya, aku tanya apa kamu suka sama aku? Karena aku sebenernya udah lama suka sama kamu. Aku kagum sama kamu,”
“Pertanyaan kamu kayaknya udah gag pantes deh untuk saat ini,”
“Kenapa?”tanya Afkar heran.
“Kamu tahu kan, seminggu lagi aku menikah? Udah basi kalau kita ngomongin perasaan yang udah lewat,”ujarku
“Justru karena sebentar lagi kamu menikah, aku pengin ada kepastian dari kamu. Apa kamu masih ada rasa sama aku, seperti dulu waktu jaman SMP?” Afkar semakin menddesak.
“Lalu, kalau aku masih punya perasaan yang seperti itu, apa untungnya buat aku? Sekarang aku sudah memiliki calon pendamping hidup, Fikri. Dia yang selalu ada dalam suka duka ku, bukan kamu yang hanya menjadi angan-angan indah dalam mimpiku,”
“Setidaknya aku ingin kamu tahu bahwa aku selama ini suka sama kamu, dan berharap aku yang jadi pendamping hidupmu. Bukan yang lain.”
“Terlambat, aku sudah mencintai Fikri lebih dari rasaku untukmu saat itu. Dan meskipun saat ini aku masih menyimpan sedikit perasaan untukmu, aku nggak akan pernah berpaling dari Fikri. Aku ingin menjadi perempuan satu-satunya untuk Fikri, dan ini adalah caraku untuk mencintainya.”
Tak lama berselang, air mataku menetes perlahan. Dadaku mulai sesak dengan berbagai kalimat yang ingin aku lontarkan pada Afkar. Tapi bibirku terasa kaku dan kelu, hanya isak tangis yang memecah suasana gundah di sore itu. Rasa sesalku bukan karena aku lebih memilih Fikri, tapi karena Afkar membuka luka itu di saat aku mulai bangkit dari keterpurukan. Aku sedang berusaha melupakan Afkar dari hidupku tapi justru dia datang dan mengungkapkan perasaannya. Harusnya dia jelaskan semua jauh sebelum aku memberikan seluruh cintaku untuk Fikri.
Semua sudah terlambat, aku mencoba untuk tetap setia pada lelakiku. Aku percaya Tuhan pasti sudah siapkan jalan hidup yang indah untukku bersama Fikri. Kebahagiaan yang mungkin belum pernah aku bayangkan sebelumnya.
“Maaf Afkar, aku memang dulu menyayangimu. Aku selalu berusaha untuk dekat denganmu, mencari perhatianmu dari berbagai sisi meskipun aku gagal untuk membuatmu paham perasaanku saat itu. Sesekali aku berpikir kamu pun memperhatikanku tapi seringkali kamu acuh sama aku. Bahkan aku ikut ekstrakurikuler bulutangkis pun karena aku pengin punya waktu lebih untuk melihatmu,”
“Maafin aku Mila. Saat itu aku masih ragu apa yang harus aku lakukan. Aku baru yakin setelah aku membaca catatan-catatan kecil yang kamu selipkan di meja dulu. Aku masih menyimpannya Mila,” Afkar membuka sebuah kotak berisi penuh kertas-kertas usang dariku. Dia sodorkan padaku dan aku seketika menampiknya. “Jangan lagi Afkar, aku udah cukup sakit mengagumimu lebih dari 10 tahun tanpa balasan apapun,”
“Tapi saat ini aku ingin menebus semua kesalahanku dulu Mil,”
“Sekarang?? Kamu akan membalas rasa cinta seorang gadis yang seminggu lagi mau menikah? Kamu mau merusak kebahagiaanku untuk kedua kalinya?? Cukup Afkar,aku sudah bahagia mencintai Fikri,”
Aku berlalu. Membiarkannya termangu dengan sekotak kenangan di masa lalu. Mungkin memang menyakitkan. Tapi ini yang terbaik. Cintaku bukan kisah telenovela, drama india, ataupun drama korea yang bisa berakhir dengan cinta pertama. Kisahku akan berlabuh pada cinta terakhir yang juga cinta sejatiku. Fikri.


Cinta Salah Sasaran



Namaku Nila, mahasiswi semester 2 di sebuah Perguruan Tinggi Swasta di Jakarta. Aku bukan gadis yang mudah bergaul dan beradaptasi dengan lingkubfab baru. Perlu banyak waktu untuk bisa memperkenalkan diri dan membaur dengan yang lain. Bukan aku nggak mau masuk dalam komunitas mereka hanya saja aku merasa kurang penting kehadiranku bagi mereka di sana.
Di saat semua mahasiswa sibuk dengan gadget atau gosip mereka, aku cuma duduk sendiri mengangga sebuah novel romance. Sesekali aku membetulkan posisi kacamata yang mulai merosot. Tidak ada yang mengusikku atau sekedar basa-basi denganku. Mungkin bagi mereka, kehadiranku tak begitu penting. Atau memang aku kurang menarik.
“Hai, Nil. Lagi baca apa?”sebuah suara lembut menyapaku dari belakang. Konsentrasiku mulai buyar. Aku mencoba menoleh dan mencari siapa malaikat yang menyapaku di siang bolong ini.
“Oh, hai juga. Nih, lagi baca novel,” jawabku singkat. Aku nggak tahu siapa namanya. Aku kurang mempedulikan sekitarku tapi aku tahu persis dia sekelas sama aku.
Percakapan kami memang yang sebentar tapi sangat berkesat di hatiku. Baru pertama kali selama aku kuliah di tempat ini ada laki-laki menyapaku dengan senyum manis terkembang di wajahnya. Apalagi dia tahu namaku, itu berarti dia memperhatikanku, meskipun hanya sesekali.
Sejak saat itu, aku berusaha mencari tahu siapa nama laki-laki itu. Aku mencarinya di media sosial, mencari satu-per satu di grup kelas. Sampai akhirnya aku menemukan sebuah foto yang ada gambar dia di dalamnya. Aku buka link tag nya. “Dika Prasetya,”kataku pelan.
Namanya Dika. “oOo..” Beberapa saat aku sibuk membuka setiapo file gambar di facebooknya. Aku suka lihat senyum dia yang terkembang lepas. Manis sekali. Seakan hatiku meleleh melihat senyumnya yang menawan. Perlahan aku mulai mengingat kembali senyum dan suaranya saat menyapaku di kelas.
Setelah ku kumpulkan tekadku, ku beranikan diri untuk menyapanya melalui chat.
“Hai, Dika,”
Beberapa hari dia tidak membalas chatku. Saat di kelaspun aku nggak berani menyapanya. Aku takut dia mengabaikankku. Jangan-jangan aku yang GR waktu itu.
Pagi ini seperti biasa aku buka akun facebookku. Ada beberapa notification dan sebuah personal message. Ternyata Dika membalas chatku.
“Hai, Nila. Bagi pin dong,”balasnya
Dia minta pin ku berarti aku ada kesempatan untuk bisa ngobrol lebih lama lagi sama dia. Tanpa pikir panjang aku beri dia pin bbm ku.
Tak lama kemudian, muncul sebuah permintaan pertemanan. Ternyata benar, itu Dika. Rasanya berbunga-bunga hatiku. Sesekali berharap,”Tuhan, tolong jodohkan aku dengannya. Amien,”
Hari demi hari aku semakin intens ngobrol lewat bbm. Tapi karena minggu kemarin baru UTS, jadi kami libur 2 minggu. Selama 2 minggu pun kami nggak ketemu. Cuma sebatas perbincangan di bbm. Tapi hal itu nggak mengurangi sedikitpun kekagumanku sama dia.
Hingga pada saatnya aku merasa nyaman ngobrol sama Dika. Bersenda gurau. Sesekali bertukar sticker dan gambar-gambar lucu. Rasanya seperti aku menemukan laki-laki idamanku yang selama ini hanya ada di angan-angan.
Dika, selalu rajin menyapaku setiap pagi meski hanya sekedar mengucapkan “Selamat beraktivitas ya,”. Tapi buat aku, kata-kata itu seperti tetesan embun yang jatuh di hatiku. Adem, cessssss. Bahkan kalau jam 8 pagi, aku belum dapat bbm dari dia, aku mulai risau. Kemana dia ya, sedang apa ya? Apa dia belum bangun? Atau dia lagi sibuk?
Sepertinya aku mulai terbiasa untuk mengingatnya, terbiasa menyebut namanya, atau mungkin terbiasa merindukannya. Semua terjadi begitu saja.
“Nila, lagi apa? Aku kangen sama kamu,” Dika tiba-tiba mengirim pesan bbm di tengah malam setelah seharian dia tak ada kabar.
Aku yang awalnya tidur lelap dan tak sedikitpun bergairah untuk bangun di tengah malam tiba-tiba terbelalak dan kaget. Aku masih nggak percaya, kucek-kucek mata dan ku baca lagi pesan darinya. Sesekali aku mengejanya perlahan supaya tidak ada kata yang terlewatkan. Masih belum yakin juga. Aku beranjak dari tempat tidur dan segera mencuci mukaku dengan air di bak mandi. Lalu aku bercermin sebentar. “OK. Aku udah bangun,”kataku dalam hati. Ku ambil smartphoneku dan kubaca lagi pesan Dika. OMG!! Ini beneran bbm dari Dika. Dia bilang dia kangen sama aku. Apa ini mimpi???Aku juga kangen sama dia.
Sebegitu excited-nya aku sampai lupa balas pesan Dika sampai pagi.
#Kring!!!!Kring!!!Kring!!
Alarmku berbunyi tepat di telingaku. Ternyata semalam aku meletakkan smartphoneku di bawah kepalaku. Ada beberapa pesan bbm masuk ternyata. Salah satunya pesan dari Dika.
“Kok, nggak di balas?”
“Maaf, aku ketidura,”
“Aku pengin ketemu kamu,”
“Aku juga. Minggu depan baru masuk kuliah lagi ya. Kita bisa ketemu di kelas,”jawabku
Ya Tuhan, apa aku mimpi? #Plak!!Plak!! Aku menampar pipiku perlahan. Nyata kok. Tapi apa iya seorang Dika bisa kangen sama aku. Aku lho ya, Nila, masih Nila yang susah bergaul, bahkan untuk menghafal satu-per satu nama teman di kelas aja masih susah dikangeni Dika. Iya, Dika yang itu, cowo yang hitam manis itu, Dika yang ramah itu, Dika yang senyumnya bikin adem itu. Dika yang seperti malaikat di siang bolong itu.
Sejak saat itu, Dika lebih sering mengirimiku pesan-pesan yang lebih romantis. Mungkin biasa aja kata-katanya tapi buat aku, itu romantis. Dan aku merasa tersanjung banget dengan semua kata-katanya. Seolah, aku penting buat dia. Setiap hari aku dan dia diselimuti rasa kangen.
Saat aku tiba-tiba sibuk dengan duniaku sendiri dan lupa membalas pesannya dia pasti bbm aku,”Aku sayang kamu, Nila,”
Mana mungkin aku tak membalas pesan itu, ini Dika lho yang bbm. Aku nggak bisa mengabaikannya. Apa mungkin?? Tumbuh perasaan yang selama ini tak pernah hadir di hatiku? Cinta? Sungguh??
“Dika, kenapa sih kamu selalu bilang kangen dan sayang sama aku. Kita kan belum akrab di dunia nyata,”tanyaku menyelidik
“Aku udah nyaman sama kamu, Nil. Apa salah kalau aku sayang sama kamu,”balasnya.
“OK. Tapi aku butuh bukti, jangan-jangan kamu cuma mainin perasaan aku di bbm,”
“Aku akan buktikan nanti saat kita ketemu,”jawabnya
Hari yang ditunggu pun datang, hari pertama masuk kuliah setelah UTS. Aku ketemu dia. Salting udah pasti. Bingung mau mulai dari mana ngobrolnya. Selama ini aku dan dia hanya akrab di bbm, bukan di dunia nyata.
“Hai, Nila,”dia menyapaku. Menjabat tanganku erat dan menatap wajahku. Terang saja aku salah tingkah. Nggak tahu harus bagaimana, beberapa orang di sekelilingku seolah menatapku curiga. Pastilah mereka curiga dan bertanya-tanya, mana mungkin seorang Nila yang jarang bergaul tiba-tiba gandengan tangan sama Dika yang cute.
Tiba-tiba seorang teman menepuk bahu Dika, dan membuyarkan konsentrasi kami. Dika ditarik temannya yang entah nggak tahu atau pura-pura nggak tahu untuk ngobrol dan kumpul sama teman-temannya. Aku ditinggal lagi, belum sempat aku mendengar apapun dari mulutnya. Aku ingin tahu apa benar memang dia sayang sama aku. Atau hanya aku yang merasa dia sayang sama aku.
Aku memutuskan untuk pulang dan meninggalkan sebuah pesan di bbm untuk Dika.
“Aku pulang. Kamu belum menepati janjimu,”
Selama beberapa hari suasana hatiku berkecamuk. Bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi? Dika yang selama beberapa hari terakhir selalu melambungkan angan-anganku. Tiba-tiba sibuk dengan kehidupannya sendiri. Dan bahkan sampai saat ini dia belum mengatakan apapun saat aku bertemu di kelas. Semua biasa saja. Seolah aku dan dia tidak pernah saling merindukan, seolah tidak ada kata sayang yang dia ucapkan di bbm.
“Aku kenapa sih?”tanyaku dalam hati. Mungkin aku mulai berharap dia punya perasaan yang sama denganku. Dia sudah menebar benih cinta di hatiku, kenapa tiba-tiba dia lupa untuk menyiramnya. Bahkan beberapa sudut hatiku mulai ditumbuhi ilalang.
Terpaksa aku menyelidik dan mencari info tentang Dika lebih dalam di media sosial. Mungkin saja aku menemukan sesuatu yang bisa membuatku lega. Semua foto-fotonya aku lihat, nggak ada foto cewe yang mungkin disinyalir sebagai kekasihnya. Berarti dia memang single. Tapi.....aku buka timelinenya. Berjalan mundur dari status yang paling baru hingga beberapa bulan ke belakang.
Tiba-tiba aku menemukan sebuah akun yang meninggalkan jejak di timelinenya. Aku buka akun itu dan ternyata seorang gadis. Aku semakin penasaran, ku buka koleksi fotonya. Ada sebuah foto gadis itu dan Dika di tepi pantai.
#Deg!!!
“Mungkin ini mantannya,”batinku. Tak lama kemudian aku tanya ke Dika lewat bbm.
“Dika, siapa Kinan?”tanyaku
“Teman, kamu kenal dia?”tanya dia mengintimidasi.
“Nggak, cuma liat di FB aja. Kok fotonya mesra banget,”
Dia tak menjawabnya. Entah, mungkin dia tidak suka aku mencoba tahu lebih dalam tentang masa lalunya. Tapi aku masih penasaran. Aku ingat teman Dika di kelas, mungkin aku bisa tanya dia.
Benar dugaanku, Kinan Aliya Putri. Kekasih Dika yang sekarang LDR di Malang. Mereka memang sedang renggang karena jarak mulai mengusik cinta mereka.
#Plak!!! Serasa ditampar wajahku. Tersadar seketika, aku baru saja jatuh dari angan-anganku yang terlampau tinggi. Dika, yang selama ini ku kagumi ternyata hanya menjadikanku pelampiasan cintanya yang mulai kandas. Dia, hanya menjadikanku penghibur hatinya, pelipur laranya. Bukan, aku bukan gadis seperti itu Dika. Aku menghargai setiap kebaikanmu, kamu yang pertama menarikku dari kejenuhan dan kekakuan hidupku. Yang aku harapkan bukan seperti ini. Sungguh bukan seperti ini. Apa kamu pikir aku terlalu bodoh dan polos untuk dipermainkan cintamu??
Aku memang gadis penyendiri yang tak pernah sedikitpun terlintas untuk mencintaimu. Bahkan mengenalmu saja tak pernah aku pikirkan. Maafkan aku yang berharap terlampau jauh.

Rabu, 08 Oktober 2014

Gadis Berambut Panjang


Kemarin aku lihat dia lewat depan rumahku. Dengan bolero merah dan rok motif bunga selutut. Rambutnya panjang tergerai, sebuah jepit rambut berbentuk bunga kecil menempel di rambutnya. Sesekali angin yang berhembus menggerakkan rambutnya, seperti ombak yang bergelayutan ditepi pantai. Seolah di setiap hempasan rambutnya ada bunga-bunga beterbangan dan menyemburkan wewangian yang mampu menghipnotisku.

Setiap pagi selama seminggu terakhir dia selalu melewati depan rumahku sekitar Pukul 08.00 WIB. Otomatis setiap Pukul 07.45 WIB aku sudah standby di teras rumah. Meskipun biasanya jam segini aku masih enak-enakan tidur-tiduran di kamar atau di depan tipi, sekarang aku sudah mandi, wangi, dan rapi. Dengan mp4 di tangan kangan dan kedua telinga tersumpal headphone besar. Sesekali aku bersenandung mengikuti irama dari mp4 merahku. Kadang pun aku mendongak ke luar pagar siapa tahu gadis rambut panjang itu lewat depan rumahku lagi. Tapi nihil, sampai jam 8.15 WIB dia masih belum kelihatan. Atau mungkin tadi dia lewat saat aku asik mendengarkan lagu K-POP kesukaanku. “Yah, ketinggalan dong,”keluhku dengan mengepalkan tangan kanan dan meninju tiang depan rumah. Aku masuk ke dalam rumah dengan wajah merengut, bibir sedikit manyun dan tanpa pikir panjang langsung duduk di depan tivi.

Kebetulan sejak kemarin sore ayah dan ibu pergi ke rumah saudara di Bandung, sedangkan kakakku sudah seminggu ikut training kerja di Jakarta. So,aku di rumah sendirian. Nggak bisa terelakkan kalau di rumah yang cukup luas ini hanya ada seorang pria tampan kayak aku, dapur jadi berantakan, kamar masih utuh dengan selimut belum terlipat. Tapi, sengaja tadi pagi aku menyapu halaman rumah agar terlihat rapi dari luar. Aku berharap gadis rambut panjang itu lewat depan rumahku dan aku bisa berkenalan dengannya. Setidaknya aku bisa tahu namanya, rumahnya, dan nomer handphonenya. “Serakah,”kataku.

Perutku mulai keroncongan lalu aku berusaha mencari makanan di kulkas dan lemari dapur. Tak ada satupun makanan tersisa setelah tadi malam aku habiskan sambil nonton film di kamar. Bahkan untuk segelas susu pun tak bersisa. Aku memutuskan untuk keluar rumah menuju mini market di ujung jalan untuk membeli beberapa makanan instan dan susu.

Masih dengan mp4 di saku celana dan kedua headphone menempel ditelingaku, aku berjalan melenggang ke arah mini market. Memilih beberapa makanan instan, roti, coklat, buah, dan susu full cream cair. Sesampainya di kasir, tanpa sengaja aku melihat gadis berambut panjang itu lewat depan mini market. Aku lihat dia berdiri sebentar sembari melihat-lihat tulisan yang ditempel di dinding kaca minimarket. Belum selesai aku membayar transaksi, gadis itu pergi. Aku ingin mengejarnya tapi aku harus selesaikan dulu pembayarannya. 

“Ugh, lari kemana tuh cewe sih,”gumamku. 
Dia sudah pergi, bahkan bayangannya udah nggak kelihatan sampai di ujung jalan. 
“Wah parah, manusia apa setan sih tuh cewe, cepet amat ilangnya,”
Dua kali aku kehilangan kesempatan di hari ini untuk kenalan dengan gadis berambut panjang itu. Rasanya dongkol berat. 
“Apa aku pantengin ajah tuh di depan pager rumah yah, siapa tahu nanti dia lewat lagi,”kataku optimis. Selesai makan, kenyang, semangat lagi buat ‘berburu’ gadis berambut panjang itu.
“Kau cantik hari ini dan aku sukaaaa,”aku mulai bersenandung di depan pagar. Masih menunggu gadis itu lewat, aku sesekali merapikan rambut dan memastikan kalu bajuku masih rapi. Setelan celana pendek dan kaos hitam plus jaket yang ku gulung bagian lengannya sampai siku.
“Pokoknya ganteng dah,”

Hari udah mulai gelap tapi gadis itu belum juga terlihat lewat depan rumahku. Aku mulai putus asa. Masuk ke dalam rumah dengan langkah gontai. “Mudah-mudahan besok bisa lihat dia lagi,”batinku.
Hari berikutnya aku keluar rumah lebih awal, standby di teras rumah dengan pagar terbuka agar tidak ada yang menghalangi pandanganku ke luar. Pukul 08.00 WIB tepat aku berdiri di depan pagar, celingukan ke kanan dan ke kiri. Tapi tak ada satupun orang yang lewat depan rumahku. Sepi.
“Hari apa sih sekarang, kok sepi banget,”aku mengingat-ingat hari ini. “Oh,no. Monday.....,”aku bergegas ke dalam rumah dan berganti pakaian. 

Aku baru ingat kalau senin ini ada UTS jam 8.30 WIB, bergegas aku berangkat ke kampus yang jaraknya sekitar 8 km dari rumah. Sepanjang perjalanan, mulutku terus komat-kamit berdoa agar aku sampai di kampus tepat waktu.

UTS selesai juga, setelah melewati 50 soal pilihan ganda dan 10 essay. “Mantap!!!” Sekarang saatnya standby di depan rumah lagi demi gadis berambut panjang pujaan hati. Belum juga ganti baju, aku sudah duduk di teras rumah. Segelas susu full cream dingin sudah ada di meja teras menemaniku menunggu gadis itu.

Samar-samar terlihat seorang gadis berjalan melewati depan rumahku, tangan kiri memegang payung yang melindunginya dari sinar matahari sedangkan tangan kanan menenteng tas kresek hitam. Dengan sigap aku langsung berdiri dan menghampirinya. Benar memang gadis itu adalah si gadis berambut panjang yang waktu itu aku lihat. Dia sudah sampai pojok pagar rumahku dan hendak berbelok ke arah gang kecil di sebelah tembok pagar rumah. Aku segera berlari menghampirinya dan mencegatnya. Aku membentangkan kedua tanganku di hadapannya. Seketika ia berhenti, hampir saja dia menabrak tubuhku tapi sistem pengendaliannya jauh lebih kuat dari yang aku bayangkan. Dia menatapku seolah bertanya apa yang sedang aku lakukan.

“Oh, maaf aku ganggu perjalanan kamu. Tapi ada yang mau omongin sama kamu,”kataku pelan.
“Kita saling kenal?”tanyannya
“Belum. Kenalin, aku Dion. Rumahku di balik tembok ini, kamu sering lewat depan rumahku tapi aku belum tahu nama kamu. Kamu orang baru ya?”
“Hmmm.....aku Fitri. Aku tinggal di rumah itu dua minggu terakhir,”jawabnya sembari menunjuk rumah kecil di belakang rumahku.
“Kamu kuliah di mana Fit?”tanyaku lagi.
“Hehehe...,”dia tertawa ringan mendengar pertanyaanku.
“Kok malah ketawa, ada yang lucu?”
“Aku nggak kuliah, aku kerja di toko buku ujung gang sana,”
“Oh,gitu ya. Bawa apa tuh?”tanyaku basa-basi sembari menunjuk tas kresek di tangannya.
“Hmm...susu full cream cair,”
“Wah, suka susu full cream juga yah. Aku juga suka,”sahutku antusias saat tahu dia juga suka susu full cream sama sepertiku.
“Bukan buat aku kok. Maaf Dion, aku harus pulang, udah ditunggu,”
“Oh, silakan,”

Dia pergi melewatiku. Sekarang rasanya lega banget setelah tahu nama dia, apalagi setelah tahu kalau rumah dia deket sama rumahku. Dari kejauhan aku masih melihat dia berjalan ke arah rumahnya. Tepat saat dia ada di depan rumah, terlihat dia jongkok dan membuka kedua tangannya seperti hendak memeluk seseorang yang setinggi pinggulnya. Tiba-tiba seorang anak kecil berusia sekitar 3 tahun memeluknya erat dan berteriak,”Mama......,”

Seketika kakiku lemas mendengar anak itu memanggil Fitri dengan panggilan ‘mama’, itu berarti Fitri bukan gadis single, dia udah punya anak. Dan susu full cream yang dia beli itu mungkin untuk anaknya. Pupus sudah harapanku untuk lebih jauh mengenalnya. Mungkin memang aku hanya ditakdirkan untuk tahu namanya. “Fyughhh, Fitri...oh....Fitri.......,”